Minggu, 12 Januari 2014

ekologi perairan


LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN
KONDISI FISIKOKIMIA EKOSISTEM SUNGAI
(POLA LONGITUDINAL SUNGAI BANJARAN)








 
Oleh:
Ira Hermayasari
H1K012035





Asisten :

Novi Lestari




KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2013





I.             PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Pola longitudinal sungai merupakan pola aliran sungai serayu yang searah dari hulu ke hilir, dimana terdapat beberapa faktor fisikokimia air yang dapat mempengaruhi kehidupan biota (ikan) di dalamnya. Perubahan dari pola longitudinal ekosistem sungai dari hulu kehilir sangat dipengaruhi oleh suhu, kecepatan arus, dan pH. Pola longitudinal adalah pola memanjang dari bagian hulu, tengah dan hilir sungai. Pola ini digunakan di suatu perairan yang mengalir seperti sungai dan berfungsi untuk mengetahui perubahan faktor fisika kimia suatu lingkungan perairan dan mengetahui organisme yang hidup di perairan tersebut (Odum, 1996). Oleh karena itu, untuk mengetahui pola longitudinal dari sungai serayu maka perlu diketahui atau diamati faktor-faktor fisikokimia air dari hulu sampai ke hilir. Perlu juga mengamati skor fisik habitatnya (Odum, 1996).
Daerah sungai merupakan air yang mengalir dan membawa berbagai kebutuhan hidup manusia dan mahluk lainnya yang merupakan bagian dari ekosistem air tawar. Meski luasan sungai dan jumlah air yang mengalir yang didalamnya sangat sedikit, jika dibandingkan dengan luas dan jumlah air laut, namun sungai mempunyai peranan penting secara langsung bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup di sekitarnya. Sungai terbagi menjadi tiga bagian yaitu hulu, tengah, dan hilir (Odum, 1973).
Zona utama sungai pada aliran air ada 2 macam yaitu zona air deras dan air tenang. Zona arus deras yaitu daerah yang dangkal dan kecepatan arus cukup tinggi untuk meyebabkan dasar sungai bersih dari endapan dan materi lain yang lepas, sehingga dasarnya padat. Zona arus tenang yaitu bagian sungai yang dalam dengan kecepatan arus sedikit berkurang, maka lumpur dan materi lepas cenderung mengendap didasar (Odum, 1993). Sungai mengalami perubahan dari hulu ke hilir. Perubahan tersebut dapat terlihat pada bagian atas dari aliran air, dan komposisi kimia berubah dengan cepat. Perubahan komposisi komunitas sewajarnya lebih jelas pada kilometer terahir (Odum, 1993).
Perairan sungai terdapat faktor biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Faktor biotik diantaranya adalah zooplankton dan phytoplankton, sedangkan faktor abiotik adalah suhu, penetrasi cahaya, kedalaman, kekeruhan oksigen terlarut karbondioksida bebas, salinitas, arus dan pH. Faktor biotik dan abiotik merupakan faktor pembatas yang dapat digunakan untuk dapat mengetahui keragaman organisme dan kelimpahannya (Odum, 1993).
1.2.       Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk :
1.    Mengetahui kadar oksigen terlarut, kecepatan arus, konduktivitas, pH, temperatur, BOD, kejernihan air, subtrat dasar.
2.    Mengetahui faktor fisiko kimia yang menunjukkan pola longitudinal.


II.          TINJAUAN PUSTAKA
2.1.       Ekosistem
Ekosistem adalah sekelompok organisme biotik dan abiotik yang saling berinteraksi berhubungan erat tidak terpisahkan dan saling berpengaruh satu sama lain. Ekosistem merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas, atau merupakan satu kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya yang bisa saja terjadi hubungan antar organisme. Ekosistem tidak hanya mencakup spesies tumbuhan dan hewan saja, tetapi segala macam bentuk materi yang melakukan siklus dalam sistem itu serta energi yang menjadi sumber kekuatan (Black, 1991).
2.2.       Sungai
Sungai adalah suatu  perairan dimana airnya mengalir secara terus-menerus pada arah tertentu. Air tersebut bisa berasal dari air tanah, air hujan, dan air permukaan yang bermuara ke laut. Air tanah sebagai sumber air sungai muncul ke permukaan sebagai mata air pada bagian hulu sungai. Air sungai tersebut kemudian mengalir ke muara karena adanya perbedaan tinggi. Aliran ini sambil mengalir melakukan pengikisan tanah dan bebatuan yang dilaluinya (Handayani, 2003).
Sungai merupakan perairan yang mengalir (lotik), oleh karena itu sungai memiliki arus yang berbeda-beda di setiap tempatnya. Dan di setiap aliran memiliki organisme yang berbeda pula. Pada aliran sungai terdapat dua zona utama, yaitu zona air deras dan zona air tenang. Organisme pada zona air deras diantaranya  adalah Corydalus (Neuroptera), Dubiraphia, (Coelenterata), Gammarus dan Pontocorela altnis (Crustacea), Cladophora, lumut air dari marga Fontinalis dan sebagainya. Sedangkan organisme pada zona air tenang diantaranya adalah Encilosnia, Hydropsyche, Hagenius, Siphlonurus, Gyrinid (kumbang), Ephemerophetra dan sejenisnya. (Hawkes, 1978).
2.3.       Parameter Fisikokimia Perairan Sungai
Faktor yang menentukan distribusi dari biota air adalah sifat fisik-kimia perairan. Kehidupan ikan disuatu perairan dipengaruhi oleh volume air mengalir, kecepatan arus, temperatur, pH dan konsentrasi oksigen terlarut (Whitton, 1975). Organisme yang dapat disesuaikan dengan kondisi sifat fisik-kimia yang akan mampu hidup. Penyebaran jenis dan hewan akkuatik ditentukan oleh kualitas lingkungan yang ada seperti sifat fisika, kimia, biologisnya (Odum, 1971).
2.3.1.  Biological Oxygen Demand (BOD)
BOD atau Biological Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991). Boyd (1990) menjelaskan bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter).
Mays (1996) mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian-pengertian ini dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di perairan.
2.3.2. Temperatur
Suhu merupakan faktor pembatas bagi ekosistem perairan dan akan membatasi kehidupan organisme akuatik (Odum, 1971). Kisaran suhu air yang baik dalam perairan dan kehidupan ikan yaitu berkisar antara 23-32ºC (Barus, 2002).

2.3.3. Derajat keasaman air (pH)
Nilai pH netral yaitu air tidak bersifat asam dan basa, nilai pH lebih besar dari 7 bersifat basa, sedangkan nilai pH lebih kecil dari 7 bersifat asam. Sungai yang bersifat asam keadaan airnya jernih. Sungai yang bersifat basa keadaan airnya keruh, dan sungai yang bersifat netral keadaan airnya keruh kecoklatan (Asdak, 2007).
2.3.4. Lebar Sungai
Lebar sempadan sungai, dapat ditentukan berdasarkan hitungan banjir rencana dan berdasarkan kajian fisik ekologi, hidraulik dan morphologi sungai langsung di lapangan (Subdin, 2006). Semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula jumlah biota yang menempatinya (Kottelat et al, 1996).
2.3.5. Kedalaman Sungai
Kedalaman merupakan tinggi rendahnya suatu perairan dari dasar sungai sampai permukaan air. Kedalaman di dalam perairan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup suatu organisme air. Karena perairan yang dalam, akan ditempati suatu organisme yang jumlahnya sedikit dan miskin oksigen. Kedalaman air yang baik suatu perairan sungai yaitu 2 hingga 3 meter. Kedalaman suatu perairan yang melebihi 3 meter akan menggangu proses fotosintesis, karena cahaya tidak bisa menembus ke bagian dasar perairan yang terlalu dalam (Hawkes, 1979).
2.3.6. Kejernihan Air
Kejernihan merupakan faktor yang penting dalam suatu perairan. Kecerahan menunjukan suatu tingkat kejernihan aliran air yang diakibatkan oleh unsur-unsur sedimen baik yang bersifat mineral atau organik. Kejernihan air digunakan sebagai indikator kemampuan air dalam meloloskan cahaya yang jatuh diatas badan air. Semakin besar tingkat kejernihan suatu perairan, semakin besar kemampuan bagi vegetasi akuatik untuk melakukan fotosintesis (Asdak, 2007).
2.3.7. Kecepatan Arus
Kecepatan arus merupakan faktor yang sangat penting karena sebagai faktor pembatas utama pada aliran arus deras. Kecepatan aliran arus tergantung pada kecuraman gradient, halus kasarnya dasar sungai, lebarnya perairan, kedalaman perairan, kemiringan, kekasaran, kedalaman, kelebaran sungai dan suply air. Kecepatan arus akan berkurang sesuai dengan semakin bertambahnya ke dalam suatu perairan dan akhirnya angin tidak berpengaruh sama sekali terhadap kecepatan. Tingkat kecepatan aliran arus  air sungai tidak selalu tetap, sehingga substrat dasar akan berubah-ubah. Bila  substrat dasar suatu perairan berupa lumpur kecepatan air akan berubah, dan substrat dasar yang berupa pasir, kerikil dan batu-batuan kecepatan arus besar (Koesbiono, 1979).
2.3.8. Substrat dasar
Substrat dasar termasuk faktor yang mempengaruhi keberadaan organisme. Substrat ini merupakan bagian dasar perairan yang terdiri dari batuan besar, kerikil lumpur, tanah liat berpasir. Substrat dasar berupa batu besar, kerikil ditempati banyak organisme. Sedangkan substrat dasar yang berupa lumpur, tanah liat berpasir ditempati sedikit organisme (Hawkes, 1979).
2.3.9. Konduktivitas dan Salinitas
Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu mahluk hidup di perairan  yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas perairan yang melebihi atau diatas 400μs mahluk hidup atau organisme yang hidup di perairan akan stress dan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka hantaran listrik tinggi (Ewuise, 1990).
Salinitas adalah nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan dengan satuan permil (‰) (Barus, 2002). Salinitas memiliki pengaruh terhadap tekanan osmotik air. Perubahan salinitas secara cepat umumnya menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Salinitas air dipengaruhi oleh pencampuran air laut dan tawar, curah hujan dan evaporasi (Tseng,1987).
2.3.10.  Skor Fisik Habitat
Skor fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu lingkungan habitat sungai tertentu. Dari nilai fisik tersebut dapat diperoleh bagaimana kondisi pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan tersebut dalam keadaan Sub optimal, optimal, marginal atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup didalamnya maupun yang ada disekitar sungai tersebut. Untuk dapat mendeskripsikan berapa skor fisik habitat dari suatu ekosistem dapat menggunakan tabel Barbour dan Stribling tahun 1991 (budi, 2011).


III.      MATERI DAN METODE
3.1.       Materi
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum pola longitudinal sungai adalah botol winkler, plastik hitam dan putih, Thermometer, kertas pH atau lakmus, tali raffia, botol akuades, secchi disk, saringan, baki, pinset, botol film, conductifity meter, dan alat tulis.
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum pola longitudinal sungai adalah air sungai yang diukur kondisi fisikokimia beberapa stasiun sungai, akuades, MnSO4, KOH-KI, H2SO4 pekat, dan Na2S2O3.
3.2.       Metode
3.2.1. Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD)(MetodeWinkler)
Pengukuran BOD dilakukan berdasarkan metode Winkler (APHA, 1985) yaitu sampel dimasukkan ke dalam dua botol Winkler volume 250 ml sampai penuh. Botol wikler pertama segera diperiksa kandungan oksigennya (DO 0 hari), sedangkan botol winkler kedua diinkubasi selama 5 hari, diperiksa kandungan oksigennya (DO 5 hari). Untuk pengukuran blanko, prosedur kerja sama seperti pada sampel.Kandungan BOD dapat dihitung dengan rumus :   
                   
Keterangan :
                  A0        : Oksigen terlarut sampel pada nol hari
                  A5        : Oksigen terlarut sampel pada lima hari
                  S0         : Oksigen terlarut blanko pada nol hari
                  S5         : Oksigen terlarut blanko pada lima hari
                  T          : persen perbandingan antara A0 : A5
                  P          : derajat pengenceran.
3.2.2. Pengukuran Temperatur
Memasukkan termometer pada perairan, kemudian menunggu beberapa menit sampai pengukuran angka stabil. Pengukuran dilakukan pada 3 titik (hulu, tengah, hilir), selanjutnya di rata-ratakan.
3.2.3. Pengukuran Derajat keasaman air (pH)
Memasukkan kertas pH ke dalam perairan, selanjutnya menyamakan perubahan warna pada kertas dengan warna skala pH yang tercantum.        
3.2.4. Pengukuran Lebar Sungai
Lebar sungai dapat diukur dengan menggunakan alat yang disebut rolling meter. Apabila pengukuran tidak memungkinkan dapat dilakukan estimasi.
3.2.5. Pengukuran Kedalaman Sungai
Melakukan pengukuran kedalaman dengan tongkat penduga yang telah diberi skala tiap 2 meter lebar sungai.
3.2.6. Pengukuran Kejernihan air
Memasukan secchi disk ke dalam air, kemudian mengukur kedalaman sampai batas antara hitam dan putih tidak dapat dibedakan. Apabila sampai dasar sungai masih dapat dibedakan. Mencatat kedalaman sampai dasar tersebut.
3.2.7. Pengukuran KecepatanArus
Mengisi botol mineral 600 ml dengan air, tutup rapat. Kemudian botol diikat dengan tali rafia 10 m. Selanjutnya botol dihanyutkan di sungai yang akan diukur kecepatan arusnya, dicatat waktu yang diperlukan hingga tali terbentang. Kemudian menghitung kecepatan arus dengan rumus:  m/s
                                
3.2.8. Pengukuran Substart dasar
Melakukan estimasi secara visual persentase bagian dasar sungai yang tertutup lumpur, pasir, kerikil, ataupun batu.
3.2.9. Pengukuran Konduktivitas dan Salinitas
Konduktivitas merupakan pengukuran tegangan listrik yang berada pada perairan tersebut. Tetapi pada praktikum kali ini tidak dilakukan pengukuran konduktivitas.
3.2.10.  Pengukuran Skor Fisik Habitat
Dengan menggunakan Tabel Barbour dan Stribling, lakukan perhitungan skor fisik habitat tiap stasiun pengamatan.
Tabel 1.Kriteria Penilaian Kondisi Fisik Habitat Barbour danStribling
Habitat parameter
Optimal
SKOR: 20
Suboptimal
SKOR: 15
Marginal
SKOR: 10
Poor
SKOR: 5
Substrat dasar
Lebih dari 60% dasar perairan terdiri atas  kerikil, batu, cadas dengan porsi yang kurang lebih sama.
30-60% dari  dasar perairan berupa bebatuan atau cadas  didominasi oleh salah satu kelas ukuran tersebut.
10-30% merupakan salah satu materi yang besar tetapi lumpur atau pasir
70-90% mendominasi substrat dasar.
Substrat didominasi oleh lumpur dan pasir kerikil dan materi yang besar <10%.
Kekomplek
kan habitat
Berbagai macam tipe kayu pohon, cabang, tumbuhan akuatik, terdapat pada segmen sungai membentuk habitat yang bervariasi. Segmen sungai tertutup kanopi.
Substrat cukup bervariasi. Segmen sungai cukup terlindungi.
Habitat didominasi 1 atau 2 macam substrat, Tumbuhan tepi yang dinaungi segmen sungai sedikit.
Habitat monoton pasir dan lumpur menyebabkan habitat tidak bervariasi.
Kualitas bagian menggenang
25% dari bagian yang menggenang sama atau lebih lebar dari setengah lebar sungai, kedalaman >1m.
<5% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih ½ lebar sungai. Umumnya bagian yang dalam ini lebih kecil dari setengah sungai dan kedalamannya > 1m.

<1% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih lebar sungai bagian yang menggenang ini mungkin sangat dalam/ dangkal. Habitat tidak bervariasi.
Bagian yang menggenang  kecil dan dangkal bahkan mungkin tidak terdapat bagian yang menggenang.
Kestabilan tepi sungai
Tidak pernah ada bukti-bukti bahwa tempat tersebut pernah terjadi erosi atau berpotensi erosi.
Jarang terjadi bagian tepi yang gugur, kemungkinan gugur ada tetapi rendah.
Bagian tepi ada ynag mengalami erosi pada saat banjir.
Bagian tepi tidak stabil, sering terjadi erosi.

3.3.       Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2013 di daerah aliran Sungai Sidaboa, Purwokerto, Jawa Tengah.
3.4.       Analisis Data
Analisis yang dilakukan menggunakan perbandingan hasil dari sungai-sungai tersebut. Penyajian data dari tiap parameternya ditunjukkan dengan grafik.


IV.      HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.         Hasil
Hasil Pengamatan Kondisi Fisikokimia Ekosistem Sungai ( Pola Longitudinal DAS Serayu)
Tabel 2. Kondisi Fisikokimia Ekosistem Sungai (Pola Longitudinal DAS Serayu)
Stasiun
Temp
Kec. Arus
Tipe Substrat
BOD
Konduktivitas
Skor Fisik Habitat
pH
Salinitas
Gumawang
27
0,66
 Berpasir
2,9
0,8
45
7
0
Kebumen
28
0,59
Batu kerikil 
1,3
0,8
55
6
0
Beji
29,8
0,33
Berbatu
1,2
29,8
60
7
0
Kodim
30
1,03
Kerikil berbatu
2,7
30
60
6
0
Tanjung
30
0,269
Berbatu
1,8
30
60
6
0
Sidaboa
30,2
0,83
Berbatu dan berpasir didominasi oleh kerikil
1,9
30,2
50
6
0
Patikraja
30,4
0,053
lumpur
2
30,4
50
6
0
Stasiun
Lebar
Kedalaman
pH
Salinitas
Kejernihan air
Oksigen

Gumawang
15,5 m
70 cm
7
0
Sampai dasar
6

Kebumen
29,9 m
50 cm
6
0
Sampai dasar
8

Beji
22 m
70 cm
7
0
Sampai dasar
7

Kodim
40 m
38 cm
6
0
Sampai dasar
5

Tanjung
19,3 m
67,3 cm
6
0
Sampai dasar
6

Sidaboa
25 m
65 cm
6
0
Sampai dasar
6

Patikraja
64,2 m
195  cm
6
0
60 cm
6


















4.2.          Pembahasan
4.2.1. Biological Oxygen Demand (BOD)
Hasil praktikum dengan sungai yang diteliti termasuk kepada sungai yang mempunyai tingkat pencemaran yang ringan. Kriteria pencemaran berdasarkan nilai BOD5 yaitu konsentrasi BOD5 < 2,90 mg/l tergolong perairan yang tidak tercemar, konsentrasi BOD5 3,00 – 5,00 mg/l menandakan perairan berada dalam kondisi tercemar ringan, konsentrasi BOD5 5,00 – 14,00 mg/l tergolong perairan tercemar sedang dan konsentrasi BOD5 > 15,00 mg/l mengindikasikan perairan berada dalam kondisi tercemar berat (Lee et al, 1978).




Gambar 1. Grafik BOD
Berdasarkan grafik diatas data BOD sungai Gumawang 2.9 mg/l, sungai Kebumen 1.3 mg/l, sungai Beji 1.2 mg/l, sungai kodim 2.7 mg/l, sungai Tanjung 1.8 mg/l, sungai Sidaboa 1.9 mg/l, dan sungai Patikraja 2 mg/l. Faktor-faktor yang mempengaruhi BOD adalah jumlah senyawa organik yang diuraikan, tersedianya mirkoorganisme aerob dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian tersebut (barus, 1990 dalam Sembiring, 2002). Nilai BOD dari hulu ke hilir seharusnya menurun karena jika perairan yang berada di hulu sungai memiliki kadar oksigen cukup tinggi disebabkan masih banyaknya pepohonan dan sumber oksigen lainnya, sedangkan perairan di hilir sungai kadar oksigen nya sudah berkurang diakibatkan pencemaran dari limbah yang dibuang oleh masyarakat hilir.
4.2.2. Temperatur
Temperatur yang stabil dalam perairan adalah 25°C- 30°C. Temperatur optimum yang layak untuk kehidupan organisme yaitu 25°C-28°C (Efendie, 2003).



Gambar 2. Grafik Temperatur
Berdasarkan grafik diatas didapatkan pengukuran temperatur sungai Gumawang  27ᵒC, sungai kebumen 28ᵒC, sungai beji 28,8ᵒC, sungai tanjung 30ᵒC, sungai sidaboa 30,2ᵒC, sungai kodim 30ᵒC dan sungai patikraja 30,4ᵒC. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa sungai memiliki suhu paling tinggi adalah sungai patikraja dengan temperatur mencapai 30,4ᵒC.
Temperatur pada sungai Gumawang ternyata lebih rendah daripada sungai di stasiun lain. Pada sungai Sidaboa temperatur menunjukkan angka 30,2 ᵒC yang berarti keadaan sungai cukup panas. Pola temperature ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutup oleh vegetari) dari pepohonan yang tumbuh sel tepi (Brehm  dan Melfering, 1990, dalam Barus, 2010).
4.2.3. Derajat keasaman air (pH)
Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi serta dapat meningkatkan konsentrasi ammonia yang bersifat sangat toksik bagi organism. Menyatakan pada pH antara 4-6,5 dan pH 8,5-11 pertumbuhan ikan akan lambat sehingga reproduksi terhambat (Barus, 2002). Semakin tinggi pH, semakin tinggi alkalinitas dan semakin rendah kadar kandungan dioksida bebas. Larutan yang bersifat asam bersifat korosif (Mackereth, 1989).

Gambar 3. Grafik pH
Berdasarkan grafik diatas diperoleh tingkat derajat keasaman air (pH) dari hulu ke hilir adalah sungai gumawang pH 7, sungai kebumen pH 6, sungai beji pH 7, sungai kodim pH 6, sungai tanjung pH 6, dan sungai sidaboa pH 6 dan sungai patikraja pH 6. Peningkatan keasaman air (pH rendah) umumnya disebabkan limbah yang mengandung asam-asam mineral bebas dan asam karbonat. Keasaman tinggi (pH rendah) juga dapat disebabkan adanya FeS2  dalam air akan membentuk H2SO4 dan ion Fe2+ (larut dalam air ) (Manik, 2003).

4.2.4. Lebar Sungai


            Gambar 4. Grafik Lebar suungai
Hasil praktikum yang sudah dilakukan menunjukkan sungai Patikraja mempunyai ukuran paling lebar 64,2 meter karena mempunyai substrat dasar lumpur, dan arus sungai yang membawa endapan sungai, sedangkan yang paling pendek ialah sungai Gumawang. Semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula jumlah biota yang menempatinya.Keanekaragaman dan kelimpahan biota juga ditentukan oleh karakteristik habitat perairan (Kottelat et al, 1996).
Berdasarkan hasil pengukuran lebar sungai di sungai Sidaboa ialah 25 meter. Pengukuran lebar sungai dilakukan dengan cara estimasi. Estimasi bisa dengan melihat panjang jembatan sungai. Lebar hulu sungai lebih kecil dibanding hilir sungai, karena pada bagian hilir sudah terjadi pengkikisan atau erosi. Dapat dilihat bahwa Semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula jumlah biota yang menempatinya (Koesbisono, 1979).

4.2.5. Kedalaman Sungai





Gambar 5. Grafik Kedalaman sungai
Berdasarkan pengukuran kedalaman sungai yang mempunyai kedalaman paling dalam ialah sungai Gumawang dan sungai Beji, sedangkan untuk hasil yang didapat oleh sungai Sidaboa ialah 65 cm. Kedalaman suatu perairan dapat mempengaruhi kelimpahan atau kehidupan organisme. Jika perairan kedalaman nilainya kecil berarti kelimpahan sepesies rendah dan tinggi, tetapi jika kedalaman nilainya sedang kelimpahan organisme banyak (Asdak, 2007). Kondisi sungai apabila semakin ke daerah hilir maka kedalaman sungai tersebut semakin dalam, karena kedalam daerah hilir di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti, daerah hilir merupakan tempat dilaluinya tampungan air dari daerah hulu serta substrat di daerah hilir sudah mulai terkikis (Efendie, 2003).
4.2.6. Kejernihan Air
Pada sungai yang berada di daerah Sidaboa kejernihan air masih menunjukkan keadaan baik, karena masih terlihat sampai dasar sungai. Sedangkan di sungai Patikraja, kejernihan air menunjukkan angka 60 cm yang berarti perairan di Patikraja sudah memasuki ambang kejernihan air yang lumayan parah. Tingkat kecerahan disebabkan oleh kandungan substrat dasar yang berupa kerikil, batu-batuan, dan memiliki arus yang cukup deras untuk membawa materi dan endapan-endapan yang berada pada dasar sungai. Tingkat kekeruhan air yang rendah disebabkan oleh kandungan substrat dasar yang berupa lumpur, partikel yang mengendap dan arus yang rendahkecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kejernihan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah agar hasilnya akurat. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kekeruhan pada perairan yang tergenang (lentik), misalnya danau, lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel – partikel halus. Sedangkan kekeruhan pada sungai yang sedang banjir lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar yang berupa lapisan permukaan tanah yang terletak oleh aliran air pada saat hujan (Efendie, 2003).
4.2.7. KecepatanArus





            Gambar 6. Grafik Kecepatan Arus
Kecepatan arus yang menunjukkan angka paling tinggi ialah sungai Kodim dengan angka 1,03 m/s dengan substrat kerikil berbatu. Sedangkan pada sungai Sidaboa menunjukkan angka 0,83 m/s, karena substrat dasar yang berbatu dan berpasir didominasi oleh kerikil. Arus merupakan faktor pembatas yang mempunyai peranan sangat penting dalam hal perairan, baik pada ekosistem mengalir (lotik) maupun ekosistem menggenang (lentic). Hal ini disebabkan karena adanya arus akan mempengaruhi distribusi organisme, gas-gas terlarut, dan mineral yang terdapat di dalam air (Barus, 2002). Kecepatan arus sungai dipengaruhi oleh kemiringan, kesuburan kadar sungai. Kedalaman dan keleburan sungai, sehingga kecepatan arus di sepanjang aliran sungai dapat berbeda-beda yang selanjutnya akan mempengaruhi jenis substrat sungai (syifa,2011). Kecepatan arus berkurang seiring dengan penambahan kedalaman suatu perairan. Semakin dangkal suatu perairan maka arus akan semakin kencang. Kecepatan arus dari hulu ke hilir berbeda pada setiap jenis substratnya, jika substrat dasar perairan hulu adalah lumpur maka kecepatan arus akan lambat, sedangkan jika substrat nya berupa kerikil maka kecepatan arus akan kencang.
4.2.8. Substart dasar
Substrat dasar berupa batu, kerikil, dan pasir banyak di tempati organisme. Karena substrat tersebut sebagai tempat menempelnya organisme yang hidup di sungai (Hawkes, 1979). Pada beberapa sungai yang telah diamati substrat dasar berbatu mempunyai arus yang cukup tinggi, sedangkan substrat dasar dengan lumpur mempunyai arus yang rendah. Untuk sungai Sidaboa mempunyai substrat dasar berbatu dan berpasir didominasi oleh kerikil sehingga mempunyai arus yang cukup yaitu 0,83 m/s. Faktor yang mempengaruhi substrat dasar ialah kemiringan, kedalaman dan kelebaran sungai sehingga kecepatan arus di sepanjang aliran sungai dapat berbeda-beda yang selanjutnya akan mempengaruhi jenis substrat dasar sungai pada umumnya, tipe substrat dalam sungai dapat berupa Lumpur, pasir, kerikil dan sampah (Syifa, 2011). Distribusi substrat dari hulu ke hilir berbeda-beda, jika di hilir maka substrat yang akan ditemui berupa bebatuan / kerikil sedangkan di perairan hulu akan ditemukan substrat berupa lumpur dan pasir.
4.2.9. Konduktivitas dan Salinitas
Hasil dari ke tujuh stasiun yang telah diamati, nilai konduktivitasnya menunjukkan angka yang berbeda–beda, angka terkecil ditunjukkan oleh stasiun Patikraja yaitu 0,7 sedangkan lima stasiun yang lain menunjukkan angka 0,8. Pada stasiun Sidaboa menunjukkan angka 9,6. Konduktivitas adalah jumlah ion-ion terlarut per volumenya dan mobilitas ion-ion tersebut, satuannya adalah mS/cm (milli-Siemens per centimeter). Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu makhluk hidup di perairan  yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas bertambah dengan jumlah yang sama dengan bertambahnya salinitas sebesar 0,01, temperatur sebesar 0,01 dan kedalaman sebesar 20 meter. Secara umum, faktor yang paling dominan dalam perubahan konduktivitas di air adalah temperatur (Efendie, 2003). Salinitas sungai yang semakin kearah laut akan menigkat, hal ini menyebabkan distribusi salinitas di hulu sungai, muara hingga ke arah laut menunjukkan nilai yang cenderung naik.
4.2.10.  Skor Fisik Habitat
Pada pengamatan di tujuh stasiun menunjukkan nilai skor fisik habitat yang berbeda-beda, stasiun Gumawang memiliki nilai yang paling kecil yaitu 45, sedangkan untuk stasiun Sidaboa, Patikraja dengan nilai 50, stasiun Kebumen dengan nilai 55, sedangkan stasiun Kodim, Beji, Tanjung memiliki nilai 60.
Skor fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu lingkungan habitat sungai tertentu. Dari nilai fisik tersebut dapat diperoleh bagaimana kondisi pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan tersebut dalam keadaan Sub optimal, optimal, marginal atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup didalamnya maupun yang ada disekitar sungai tersebut (Efendie, 2003).




V.               KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.       Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pengamatan pola longitudinal ekosistem Sungai Serayu, perubahan faktor fisikokimia dari hulu ke hilir, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Faktor fisikokimia yang dijadikan parameter dari tiap-tiap pengamatan memiliki hasil yang sangat bervariasi atau berfluktuasi dari hulu sungai sampai dengan daerah hilir sungai.
2.      Pola lungitudinal di sungai Sidaboa pada saat ini cukup baik bagi kehidupan organisme akuatik dan organisme lainnya yang hidup di sepanjang aliran sungai atau (DAS) Sidaboa. Dengan keadaan seperti suhu, substrat dasar, kecepatan arus dan yang lainnya organisme dapat nerkembang biak dengan baik.
5.2.       Saran
. Praktikum Ekologi Perairan ini seharusnya pemerintah menindak lanjuti tentang pencemaran limbah di DAS Sidaboa. Diberi penyuluhan-penyuluhan seperti pemberdayaan masyarakat sekitar DAS Sidaboa. Karena jika pencemaran tersebut tidak diatasi maka organisme yang hidup di aliran sungai tersebut lama kelamaan akan hilang.



DAFTAR PUSTAKA

Asdak, chay. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Barus, T. A. 2002. Pengantar Limnologi. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Black, P.E.1991. Watershed Hydrology. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. 408 hal

Budiadi ivan. 2011. Pola longitudinal. http://ivanbudiadi.blogspot.com/. Diakses 07 Desmber 2013.  

Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Auburn University. Alabama.

Effendi, Hefni. 2003. Telah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Ewuise. Y.J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika.Bandung: ITB.

Handayani. 2003. Sains Indonesia. Jakarta: UI Press.
                           
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. Great Britain: Richard Clay Ltd, Bungay, Suffolk

Hawkes, H.A.1979. Invertebrates an Indikator Of River Water Quality. In James, A. And L. Erison, ED. Biology Indikator Of Water Quality. Jon Willey Sons, Toronto.
                                                    
Koesbisono. 1979. Ekologi Perairan. IPB. Bogor.

Kottelat, M. (1989). "Zoogeography of the fishes from Indochinese inland waters with an annotated check-list" Bulletin Zoologisch Museum Universiteit van Amsterdam 12(1) 1-54.

Mackereth, F.J.H., Heron, J and Talling, J.f. 1989. Water analysis. Fresh-Water Biological Association, Cumbria, UK, 120 p.

Mays, L.W., (1996),Water resources handbook, McGraw-Hill, New York. p: 8.27-8.28

Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Thahmosamingan. Gadjah Mada Press. Yogyakarta.

Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogyakarta. Gajah Mada  University Press

Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelpia: WB Sounders Co.

Tseng,1987. Shrimp Mariculture. Papua New Guinea Press, Port Moresby.
Whitton BA. (eds), 1975. River Ecology. Study in Ecology. Vol. 2, Berkeley,  University of California Press. 725 pp

Subdin Pengairan, DIY, 2006, Rancangan Naskah Akademik Peraturan Sempadan Sungai ,2006 Dinas Pekerjaan Umum, DIY, Yogyakarta.

Syifa. 2011. Kualitas air. http://syifakatoooo.blogspot.com/2011/04/kualitas-air.html/ . Diakses 07 Desember 2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar