LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN
KONDISI
FISIKOKIMIA EKOSISTEM SUNGAI
(POLA
LONGITUDINAL SUNGAI BANJARAN)
Oleh:
Ira Hermayasari
|
H1K012035
|
Asisten :
Novi
Lestari
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN
KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN PERIKANAN DAN
KELAUTAN
PURWOKERTO
2013
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pola longitudinal sungai merupakan pola aliran sungai serayu yang searah dari hulu ke
hilir, dimana terdapat beberapa faktor fisikokimia air yang dapat mempengaruhi
kehidupan biota (ikan) di dalamnya. Perubahan dari pola longitudinal ekosistem
sungai dari hulu kehilir sangat dipengaruhi oleh suhu, kecepatan arus, dan pH.
Pola longitudinal adalah pola memanjang dari bagian hulu, tengah dan hilir
sungai. Pola ini digunakan di suatu perairan yang mengalir seperti sungai dan
berfungsi untuk mengetahui perubahan faktor fisika kimia suatu lingkungan
perairan dan mengetahui organisme yang hidup di perairan tersebut (Odum, 1996).
Oleh karena itu, untuk mengetahui pola longitudinal dari sungai serayu maka perlu diketahui atau diamati
faktor-faktor fisikokimia air dari hulu sampai ke hilir. Perlu juga mengamati skor fisik habitatnya
(Odum, 1996).
Daerah sungai merupakan air yang mengalir dan membawa berbagai kebutuhan hidup manusia dan mahluk
lainnya yang merupakan bagian dari ekosistem air tawar. Meski luasan sungai dan
jumlah air yang mengalir yang didalamnya sangat sedikit, jika dibandingkan dengan
luas dan jumlah air laut, namun sungai mempunyai peranan penting secara
langsung bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup di sekitarnya. Sungai terbagi
menjadi tiga bagian yaitu hulu, tengah, dan hilir (Odum, 1973).
Zona utama sungai pada aliran air ada 2 macam
yaitu zona air deras dan air tenang. Zona arus deras yaitu daerah yang dangkal
dan kecepatan arus cukup tinggi untuk meyebabkan dasar sungai bersih dari
endapan dan materi lain yang lepas, sehingga dasarnya padat. Zona arus tenang
yaitu bagian sungai yang dalam dengan kecepatan arus sedikit
berkurang, maka lumpur dan materi lepas cenderung mengendap didasar (Odum,
1993). Sungai mengalami perubahan dari hulu ke hilir. Perubahan tersebut dapat
terlihat pada bagian atas dari aliran air, dan komposisi kimia berubah dengan
cepat. Perubahan komposisi komunitas sewajarnya lebih jelas pada kilometer
terahir (Odum, 1993).
Perairan sungai terdapat faktor biotik
dan abiotik yang saling berinteraksi. Faktor biotik diantaranya adalah
zooplankton dan phytoplankton, sedangkan faktor abiotik adalah suhu, penetrasi
cahaya, kedalaman, kekeruhan oksigen terlarut karbondioksida bebas, salinitas, arus dan pH. Faktor biotik dan
abiotik merupakan faktor pembatas yang dapat digunakan untuk dapat mengetahui
keragaman organisme dan kelimpahannya (Odum, 1993).
1.2.
Tujuan
Praktikum ini
bertujuan untuk :
1.
Mengetahui
kadar oksigen terlarut, kecepatan arus, konduktivitas, pH, temperatur,
BOD, kejernihan air, subtrat dasar.
2.
Mengetahui faktor fisiko kimia yang menunjukkan pola
longitudinal.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Ekosistem
Ekosistem adalah
sekelompok organisme biotik dan abiotik yang saling berinteraksi berhubungan
erat tidak terpisahkan dan saling berpengaruh satu sama lain. Ekosistem
merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas, atau merupakan satu kesatuan dari suatu komunitas
dengan lingkungannya yang bisa saja terjadi hubungan antar organisme. Ekosistem tidak hanya mencakup
spesies tumbuhan dan hewan saja, tetapi segala macam bentuk materi yang
melakukan siklus dalam sistem itu serta energi yang menjadi sumber kekuatan
(Black, 1991).
2.2.
Sungai
Sungai adalah suatu perairan
dimana airnya mengalir secara terus-menerus pada arah tertentu. Air tersebut bisa berasal dari air tanah,
air hujan, dan air permukaan yang bermuara ke laut. Air tanah sebagai sumber
air sungai muncul ke permukaan sebagai mata air pada bagian hulu sungai. Air
sungai tersebut kemudian mengalir ke muara karena adanya perbedaan tinggi.
Aliran ini sambil mengalir melakukan pengikisan tanah dan bebatuan yang
dilaluinya (Handayani, 2003).
Sungai merupakan
perairan yang mengalir (lotik), oleh karena itu sungai memiliki arus yang
berbeda-beda di setiap tempatnya. Dan di setiap aliran memiliki organisme yang berbeda pula. Pada
aliran sungai terdapat dua zona utama, yaitu zona air deras dan zona air
tenang. Organisme pada zona air deras diantaranya adalah Corydalus
(Neuroptera), Dubiraphia, (Coelenterata), Gammarus
dan Pontocorela altnis (Crustacea), Cladophora, lumut air dari marga
Fontinalis dan sebagainya. Sedangkan organisme pada zona air tenang diantaranya
adalah Encilosnia, Hydropsyche, Hagenius, Siphlonurus, Gyrinid (kumbang), Ephemerophetra dan sejenisnya. (Hawkes, 1978).
2.3.
Parameter
Fisikokimia Perairan Sungai
Faktor yang menentukan distribusi dari biota air adalah sifat fisik-kimia
perairan. Kehidupan ikan disuatu perairan dipengaruhi oleh volume air mengalir,
kecepatan arus, temperatur, pH dan konsentrasi oksigen terlarut (Whitton,
1975). Organisme yang dapat
disesuaikan dengan kondisi
sifat fisik-kimia yang akan mampu hidup. Penyebaran jenis dan hewan akkuatik ditentukan oleh kualitas
lingkungan yang ada seperti sifat fisika, kimia, biologisnya (Odum, 1971).
2.3.1. Biological Oxygen Demand (BOD)
BOD atau Biological Oxygen Demand adalah suatu
karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh
mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan
organik dalam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy,
1991). Boyd (1990) menjelaskan bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam
BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter).
Mays (1996) mengartikan BOD sebagai suatu ukuran
jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam
perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari
pengertian-pengertian ini dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan
jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran
jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable
organics) yang ada di perairan.
2.3.2. Temperatur
Suhu merupakan faktor pembatas bagi
ekosistem perairan dan akan membatasi kehidupan organisme akuatik (Odum, 1971).
Kisaran suhu air yang baik dalam perairan dan kehidupan ikan yaitu berkisar
antara 23-32ºC (Barus, 2002).
2.3.3. Derajat keasaman air (pH)
Nilai pH netral yaitu air tidak
bersifat asam dan basa, nilai pH lebih besar dari 7 bersifat basa, sedangkan
nilai pH lebih kecil dari 7 bersifat asam. Sungai yang bersifat asam keadaan
airnya jernih. Sungai yang bersifat basa keadaan airnya keruh, dan sungai yang
bersifat netral keadaan airnya keruh kecoklatan (Asdak, 2007).
2.3.4. Lebar Sungai
Lebar sempadan sungai,
dapat ditentukan berdasarkan hitungan banjir rencana
dan berdasarkan kajian fisik ekologi, hidraulik dan
morphologi sungai langsung
di lapangan (Subdin,
2006). Semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula
jumlah biota yang menempatinya (Kottelat et al, 1996).
2.3.5.
Kedalaman Sungai
Kedalaman merupakan tinggi rendahnya
suatu perairan dari dasar sungai sampai permukaan air. Kedalaman di dalam
perairan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup suatu organisme air. Karena
perairan yang dalam, akan ditempati suatu organisme yang jumlahnya sedikit dan
miskin oksigen. Kedalaman air yang baik suatu perairan sungai yaitu 2 hingga 3
meter. Kedalaman suatu perairan yang melebihi 3 meter akan menggangu proses
fotosintesis, karena cahaya tidak bisa menembus ke bagian dasar perairan yang terlalu dalam
(Hawkes, 1979).
2.3.6.
Kejernihan Air
Kejernihan merupakan faktor yang penting dalam suatu perairan. Kecerahan
menunjukan suatu tingkat kejernihan aliran air yang diakibatkan oleh
unsur-unsur sedimen baik yang bersifat mineral atau organik. Kejernihan air digunakan sebagai indikator
kemampuan air dalam meloloskan
cahaya yang jatuh diatas badan air. Semakin besar tingkat kejernihan suatu perairan, semakin besar kemampuan bagi vegetasi
akuatik untuk melakukan fotosintesis
(Asdak, 2007).
2.3.7.
Kecepatan Arus
Kecepatan arus merupakan faktor yang
sangat penting karena sebagai faktor pembatas utama pada aliran arus deras. Kecepatan aliran arus tergantung pada kecuraman
gradient, halus kasarnya dasar sungai, lebarnya perairan, kedalaman perairan,
kemiringan, kekasaran, kedalaman, kelebaran sungai dan suply air. Kecepatan
arus akan berkurang sesuai dengan semakin bertambahnya ke dalam suatu perairan
dan akhirnya angin tidak berpengaruh sama sekali terhadap kecepatan. Tingkat
kecepatan aliran arus air sungai tidak
selalu tetap, sehingga substrat dasar akan berubah-ubah. Bila substrat dasar suatu perairan berupa lumpur
kecepatan air akan berubah, dan substrat dasar yang berupa pasir, kerikil dan
batu-batuan kecepatan arus besar (Koesbiono, 1979).
2.3.8. Substrat dasar
Substrat dasar termasuk faktor yang mempengaruhi keberadaan
organisme. Substrat ini merupakan bagian dasar perairan yang terdiri dari
batuan besar, kerikil lumpur, tanah liat berpasir. Substrat dasar berupa batu
besar, kerikil ditempati banyak organisme. Sedangkan substrat dasar yang berupa
lumpur, tanah liat berpasir ditempati sedikit organisme (Hawkes, 1979).
2.3.9.
Konduktivitas dan Salinitas
Konduktivitas air yang baik
bagi kehidupan suatu mahluk hidup di perairan
yaitu di bawah 400μs.
Konduktivitas perairan yang melebihi atau diatas 400μs mahluk hidup atau organisme yang
hidup di perairan akan stress dan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka hantaran
listrik tinggi (Ewuise, 1990).
Salinitas
adalah nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volume
air yang biasanya dinyatakan dengan satuan permil (‰) (Barus, 2002). Salinitas
memiliki pengaruh terhadap tekanan osmotik air. Perubahan salinitas secara
cepat umumnya menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Salinitas air
dipengaruhi oleh pencampuran air laut dan tawar, curah hujan dan evaporasi (Tseng,1987).
2.3.10. Skor Fisik Habitat
Skor fisik
habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu lingkungan habitat
sungai tertentu. Dari nilai fisik tersebut dapat diperoleh bagaimana kondisi
pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan tersebut dalam keadaan Sub optimal,
optimal, marginal atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup didalamnya maupun
yang ada disekitar sungai tersebut. Untuk dapat mendeskripsikan berapa skor
fisik habitat dari suatu ekosistem dapat menggunakan tabel Barbour dan
Stribling tahun 1991 (budi,
2011).
III. MATERI DAN METODE
3.1.
Materi
3.1.1.
Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum
pola longitudinal sungai adalah botol winkler, plastik hitam dan putih, Thermometer,
kertas pH atau lakmus, tali raffia, botol akuades, secchi disk, saringan, baki,
pinset, botol film, conductifity meter, dan alat tulis.
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum pola longitudinal
sungai adalah air sungai yang diukur kondisi fisikokimia beberapa stasiun
sungai, akuades, MnSO4, KOH-KI, H2SO4 pekat,
dan Na2S2O3.
3.2.
Metode
3.2.1. Pengukuran Biological
Oxygen Demand (BOD)(MetodeWinkler)
Pengukuran BOD dilakukan berdasarkan
metode Winkler (APHA, 1985) yaitu sampel dimasukkan ke dalam dua botol Winkler
volume 250 ml sampai penuh. Botol wikler pertama segera diperiksa kandungan
oksigennya (DO 0 hari), sedangkan botol winkler kedua diinkubasi selama 5 hari,
diperiksa kandungan oksigennya (DO 5 hari). Untuk pengukuran blanko, prosedur
kerja sama seperti pada sampel.Kandungan BOD dapat dihitung dengan rumus :

Keterangan :
A0 :
Oksigen terlarut sampel pada nol hari
A5 :
Oksigen terlarut sampel pada lima hari
S0 :
Oksigen terlarut blanko pada nol hari
S5 :
Oksigen terlarut blanko pada lima hari
T :
persen perbandingan antara A0 : A5
P :
derajat pengenceran.
3.2.2. Pengukuran Temperatur
Memasukkan termometer
pada perairan, kemudian menunggu beberapa menit sampai pengukuran angka stabil.
Pengukuran dilakukan pada 3 titik (hulu, tengah, hilir), selanjutnya di
rata-ratakan.
3.2.3. Pengukuran Derajat keasaman air (pH)
Memasukkan kertas pH ke
dalam perairan, selanjutnya menyamakan perubahan warna pada kertas dengan warna
skala pH yang tercantum.
3.2.4. Pengukuran Lebar Sungai
Lebar sungai dapat diukur dengan menggunakan alat yang disebut rolling
meter. Apabila pengukuran tidak memungkinkan dapat dilakukan estimasi.
3.2.5. Pengukuran Kedalaman Sungai
Melakukan pengukuran kedalaman dengan tongkat penduga yang telah diberi
skala tiap 2 meter lebar sungai.
3.2.6. Pengukuran Kejernihan air
Memasukan secchi disk ke dalam air, kemudian
mengukur kedalaman sampai batas antara hitam dan putih tidak dapat dibedakan.
Apabila sampai dasar sungai masih dapat dibedakan. Mencatat kedalaman sampai
dasar tersebut.
3.2.7. Pengukuran KecepatanArus
Mengisi botol mineral 600 ml dengan air, tutup rapat. Kemudian botol
diikat dengan tali rafia 10 m. Selanjutnya botol dihanyutkan di sungai yang
akan diukur kecepatan arusnya, dicatat waktu yang diperlukan hingga tali
terbentang. Kemudian menghitung kecepatan arus dengan rumus: m/s
3.2.8. Pengukuran Substart dasar
Melakukan estimasi secara visual persentase bagian dasar sungai yang
tertutup lumpur, pasir, kerikil, ataupun batu.
3.2.9. Pengukuran Konduktivitas dan Salinitas
Konduktivitas
merupakan pengukuran tegangan listrik yang berada pada perairan tersebut.
Tetapi pada praktikum kali ini tidak dilakukan pengukuran konduktivitas.
3.2.10.
Pengukuran Skor Fisik Habitat
Dengan menggunakan Tabel Barbour
dan Stribling, lakukan perhitungan skor fisik habitat tiap stasiun pengamatan.
Tabel 1.Kriteria Penilaian Kondisi Fisik Habitat Barbour danStribling
Habitat parameter
|
Optimal
SKOR: 20
|
Suboptimal
SKOR: 15
|
Marginal
SKOR: 10
|
Poor
SKOR: 5
|
Substrat dasar
|
Lebih dari 60% dasar perairan terdiri
atas kerikil, batu, cadas dengan porsi
yang kurang lebih sama.
|
30-60% dari dasar
perairan berupa bebatuan atau cadas
didominasi oleh salah satu kelas ukuran tersebut.
|
10-30% merupakan salah satu materi yang besar tetapi lumpur
atau pasir
70-90% mendominasi substrat dasar.
|
Substrat didominasi oleh lumpur dan pasir kerikil dan
materi yang besar <10%.
|
Kekomplek
kan habitat
|
Berbagai macam tipe kayu pohon, cabang, tumbuhan akuatik,
terdapat pada segmen sungai membentuk habitat yang bervariasi. Segmen sungai
tertutup kanopi.
|
Substrat cukup bervariasi. Segmen sungai cukup terlindungi.
|
Habitat didominasi 1 atau 2 macam substrat, Tumbuhan tepi
yang dinaungi segmen sungai sedikit.
|
Habitat monoton pasir dan lumpur menyebabkan habitat tidak
bervariasi.
|
Kualitas bagian menggenang
|
25% dari bagian yang menggenang sama atau lebih lebar dari
setengah lebar sungai, kedalaman >1m.
|
<5% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih
½ lebar sungai. Umumnya bagian yang dalam ini lebih kecil dari setengah sungai dan kedalamannya > 1m.
|
<1% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih
lebar sungai bagian yang menggenang ini mungkin sangat dalam/ dangkal.
Habitat tidak bervariasi.
|
Bagian yang menggenang
kecil dan dangkal bahkan mungkin tidak terdapat bagian yang
menggenang.
|
Kestabilan tepi sungai
|
Tidak pernah ada bukti-bukti bahwa tempat tersebut pernah
terjadi erosi atau berpotensi erosi.
|
Jarang terjadi bagian tepi yang gugur, kemungkinan gugur
ada tetapi rendah.
|
Bagian tepi ada ynag mengalami erosi pada saat banjir.
|
Bagian tepi tidak stabil, sering terjadi erosi.
|
3.3.
Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2013 di daerah aliran Sungai Sidaboa, Purwokerto, Jawa Tengah.
3.4.
Analisis
Data
Analisis yang dilakukan menggunakan perbandingan hasil dari sungai-sungai tersebut. Penyajian data dari
tiap parameternya ditunjukkan dengan grafik.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
Hasil Pengamatan
Kondisi Fisikokimia Ekosistem Sungai ( Pola Longitudinal DAS Serayu)
Tabel 2. Kondisi Fisikokimia Ekosistem
Sungai (Pola Longitudinal DAS Serayu)
Stasiun
|
Temp
|
Kec. Arus
|
Tipe Substrat
|
BOD
|
Konduktivitas
|
Skor Fisik
Habitat
|
pH
|
Salinitas
|
|||||||
Gumawang
|
27
|
0,66
|
Berpasir
|
2,9
|
0,8
|
45
|
7
|
0
|
|||||||
Kebumen
|
28
|
0,59
|
Batu kerikil
|
1,3
|
0,8
|
55
|
6
|
0
|
|||||||
Beji
|
29,8
|
0,33
|
Berbatu
|
1,2
|
29,8
|
60
|
7
|
0
|
|||||||
Kodim
|
30
|
1,03
|
Kerikil berbatu
|
2,7
|
30
|
60
|
6
|
0
|
|||||||
Tanjung
|
30
|
0,269
|
Berbatu
|
1,8
|
30
|
60
|
6
|
0
|
|||||||
Sidaboa
|
30,2
|
0,83
|
Berbatu dan berpasir didominasi oleh kerikil
|
1,9
|
30,2
|
50
|
6
|
0
|
|||||||
Patikraja
|
30,4
|
0,053
|
lumpur
|
2
|
30,4
|
50
|
6
|
0
|
|||||||
Stasiun
|
Lebar
|
Kedalaman
|
pH
|
Salinitas
|
Kejernihan
air
|
Oksigen
|
|||||||||
Gumawang
|
15,5 m
|
70 cm
|
7
|
0
|
Sampai dasar
|
6
|
|||||||||
Kebumen
|
29,9 m
|
50 cm
|
6
|
0
|
Sampai dasar
|
8
|
|||||||||
Beji
|
22 m
|
70 cm
|
7
|
0
|
Sampai dasar
|
7
|
|||||||||
Kodim
|
40 m
|
38 cm
|
6
|
0
|
Sampai dasar
|
5
|
|||||||||
Tanjung
|
19,3 m
|
67,3 cm
|
6
|
0
|
Sampai dasar
|
6
|
|||||||||
Sidaboa
|
25 m
|
65 cm
|
6
|
0
|
Sampai dasar
|
6
|
|||||||||
Patikraja
|
64,2 m
|
195 cm
|
6
|
0
|
60 cm
|
6
|
|||||||||
4.2.
Pembahasan
4.2.1. Biological Oxygen Demand (BOD)
Hasil praktikum dengan sungai yang
diteliti termasuk kepada sungai yang mempunyai tingkat pencemaran yang ringan.
Kriteria pencemaran berdasarkan nilai BOD5 yaitu konsentrasi BOD5 <
2,90 mg/l tergolong perairan yang tidak tercemar, konsentrasi BOD5 3,00 – 5,00
mg/l menandakan perairan berada dalam kondisi tercemar ringan, konsentrasi BOD5
5,00 – 14,00 mg/l tergolong perairan tercemar sedang dan konsentrasi BOD5 >
15,00 mg/l mengindikasikan perairan berada dalam kondisi tercemar berat (Lee et
al, 1978).
Gambar 1. Grafik BOD
Berdasarkan grafik
diatas data BOD sungai Gumawang 2.9 mg/l, sungai Kebumen 1.3 mg/l, sungai Beji 1.2 mg/l, sungai
kodim 2.7 mg/l, sungai Tanjung 1.8 mg/l, sungai
Sidaboa 1.9 mg/l,
dan sungai Patikraja 2 mg/l. Faktor-faktor yang
mempengaruhi BOD adalah jumlah senyawa organik yang diuraikan, tersedianya
mirkoorganisme aerob dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam
proses penguraian tersebut (barus, 1990 dalam Sembiring, 2002). Nilai BOD dari hulu ke hilir seharusnya
menurun karena jika perairan yang berada di hulu sungai memiliki kadar oksigen
cukup tinggi disebabkan masih banyaknya pepohonan dan sumber oksigen lainnya,
sedangkan perairan di hilir sungai kadar oksigen nya sudah berkurang diakibatkan
pencemaran dari limbah yang dibuang oleh masyarakat hilir.
4.2.2. Temperatur
Temperatur
yang stabil dalam perairan adalah 25°C- 30°C. Temperatur optimum yang layak
untuk kehidupan organisme yaitu 25°C-28°C (Efendie, 2003).
Gambar 2. Grafik
Temperatur
Berdasarkan grafik diatas didapatkan
pengukuran temperatur sungai Gumawang 27ᵒC,
sungai kebumen 28ᵒC, sungai beji 28,8ᵒC,
sungai tanjung 30ᵒC, sungai sidaboa 30,2ᵒC, sungai kodim 30ᵒC dan sungai patikraja 30,4ᵒC. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa sungai
memiliki suhu paling tinggi adalah sungai patikraja dengan temperatur mencapai 30,4ᵒC.
Temperatur
pada sungai Gumawang ternyata lebih rendah daripada sungai di stasiun lain.
Pada sungai Sidaboa temperatur menunjukkan angka 30,2 ᵒC yang berarti keadaan sungai cukup panas. Pola temperature ekosistem air
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran
panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh
faktor kanopi (penutup oleh vegetari) dari pepohonan yang tumbuh sel tepi
(Brehm dan Melfering, 1990, dalam
Barus, 2010).
4.2.3. Derajat keasaman air (pH)
Kondisi perairan yang bersifat
sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme
karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi serta
dapat meningkatkan konsentrasi ammonia yang bersifat sangat toksik bagi organism. Menyatakan
pada pH antara 4-6,5 dan pH 8,5-11 pertumbuhan ikan akan lambat sehingga
reproduksi terhambat (Barus, 2002). Semakin
tinggi pH, semakin tinggi alkalinitas dan semakin rendah kadar kandungan
dioksida bebas. Larutan yang bersifat asam bersifat korosif (Mackereth, 1989).
Gambar 3. Grafik pH
Berdasarkan grafik diatas diperoleh tingkat derajat keasaman air (pH) dari hulu ke hilir adalah sungai gumawang
pH 7, sungai kebumen pH 6, sungai beji pH 7, sungai kodim pH 6, sungai
tanjung pH 6,
dan sungai sidaboa pH 6 dan sungai patikraja pH 6. Peningkatan keasaman air (pH
rendah) umumnya disebabkan limbah yang mengandung asam-asam mineral bebas dan
asam karbonat. Keasaman tinggi (pH rendah) juga dapat disebabkan adanya FeS2
dalam air akan membentuk H2SO4
dan ion Fe2+ (larut dalam air ) (Manik, 2003).
4.2.4. Lebar Sungai
Gambar 4. Grafik Lebar suungai
Hasil praktikum yang sudah dilakukan menunjukkan sungai
Patikraja mempunyai ukuran paling lebar 64,2 meter karena mempunyai substrat
dasar lumpur, dan arus sungai yang membawa endapan sungai, sedangkan yang
paling pendek ialah sungai Gumawang. Semakin panjang dan lebar ukuran sungai
semakin banyak pula jumlah biota yang menempatinya.Keanekaragaman dan
kelimpahan biota juga ditentukan oleh karakteristik habitat perairan (Kottelat
et al, 1996).
Berdasarkan
hasil pengukuran lebar sungai di sungai Sidaboa ialah 25 meter. Pengukuran
lebar sungai dilakukan dengan cara estimasi. Estimasi bisa dengan melihat
panjang jembatan sungai. Lebar hulu sungai lebih kecil dibanding hilir sungai,
karena pada bagian hilir sudah terjadi pengkikisan atau erosi. Dapat dilihat
bahwa Semakin panjang dan lebar ukuran
sungai semakin banyak pula jumlah biota yang menempatinya (Koesbisono, 1979).
4.2.5. Kedalaman Sungai
Gambar 5. Grafik Kedalaman sungai
Berdasarkan pengukuran kedalaman sungai yang mempunyai kedalaman
paling dalam ialah sungai Gumawang dan sungai Beji, sedangkan untuk hasil yang didapat oleh sungai Sidaboa ialah 65 cm. Kedalaman suatu perairan
dapat mempengaruhi kelimpahan atau kehidupan organisme. Jika perairan kedalaman
nilainya kecil berarti kelimpahan sepesies rendah dan tinggi, tetapi jika kedalaman
nilainya sedang kelimpahan organisme banyak (Asdak, 2007).
Kondisi sungai apabila semakin ke daerah hilir
maka kedalaman sungai tersebut semakin dalam, karena kedalam daerah hilir di
pengaruhi oleh beberapa faktor seperti, daerah hilir merupakan tempat dilaluinya tampungan
air dari daerah hulu serta substrat di daerah hilir sudah mulai terkikis
(Efendie, 2003).
4.2.6. Kejernihan Air
Pada sungai yang
berada di daerah Sidaboa kejernihan air masih menunjukkan keadaan baik, karena
masih terlihat sampai dasar sungai. Sedangkan di sungai Patikraja, kejernihan
air menunjukkan angka 60 cm yang berarti perairan di Patikraja sudah memasuki
ambang kejernihan air yang lumayan parah. Tingkat kecerahan disebabkan oleh
kandungan substrat dasar yang berupa kerikil, batu-batuan, dan memiliki arus
yang cukup deras untuk membawa materi dan endapan-endapan yang berada pada
dasar sungai. Tingkat kekeruhan
air yang rendah disebabkan oleh kandungan substrat dasar yang berupa lumpur, partikel yang mengendap dan arus
yang rendahkecerahan sangat dipengaruhi
oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi, serta
ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kejernihan sebaiknya
dilakukan pada saat cuaca cerah agar hasilnya akurat. Kecerahan air tergantung
pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang
ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kekeruhan pada
perairan yang tergenang (lentik), misalnya danau, lebih banyak disebabkan oleh
bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel – partikel halus. Sedangkan
kekeruhan pada sungai yang sedang banjir lebih banyak disebabkan oleh
bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar yang berupa lapisan
permukaan tanah yang terletak oleh aliran air pada saat hujan (Efendie,
2003).
4.2.7. KecepatanArus
Gambar 6. Grafik Kecepatan Arus
Kecepatan arus yang
menunjukkan angka paling tinggi ialah sungai Kodim dengan angka 1,03 m/s dengan
substrat kerikil berbatu. Sedangkan pada sungai Sidaboa menunjukkan angka 0,83 m/s,
karena substrat dasar yang berbatu dan berpasir didominasi oleh kerikil. Arus
merupakan faktor pembatas yang mempunyai peranan sangat penting dalam hal
perairan, baik pada ekosistem mengalir (lotik) maupun ekosistem menggenang
(lentic). Hal ini disebabkan karena adanya arus akan mempengaruhi distribusi
organisme, gas-gas terlarut, dan mineral yang terdapat di dalam air (Barus,
2002). Kecepatan arus sungai dipengaruhi oleh kemiringan,
kesuburan kadar sungai. Kedalaman dan keleburan sungai, sehingga kecepatan arus
di sepanjang aliran sungai dapat berbeda-beda yang selanjutnya akan mempengaruhi
jenis substrat sungai (syifa,2011). Kecepatan arus
berkurang seiring dengan penambahan kedalaman suatu perairan. Semakin dangkal suatu perairan maka arus akan semakin kencang. Kecepatan
arus dari hulu ke hilir berbeda pada setiap jenis substratnya, jika substrat dasar perairan hulu
adalah lumpur maka kecepatan arus akan lambat, sedangkan jika substrat nya
berupa kerikil maka kecepatan arus akan kencang.
4.2.8. Substart dasar
Substrat dasar berupa batu, kerikil, dan pasir banyak di tempati organisme.
Karena substrat tersebut sebagai tempat menempelnya organisme yang hidup di
sungai (Hawkes, 1979).
Pada beberapa sungai yang telah diamati substrat dasar berbatu mempunyai arus
yang cukup tinggi, sedangkan substrat dasar dengan lumpur mempunyai arus yang
rendah. Untuk sungai Sidaboa mempunyai substrat dasar berbatu dan berpasir
didominasi oleh kerikil sehingga mempunyai arus yang cukup yaitu 0,83 m/s. Faktor yang mempengaruhi substrat dasar ialah kemiringan, kedalaman dan kelebaran sungai
sehingga kecepatan arus di sepanjang aliran sungai dapat berbeda-beda yang
selanjutnya akan mempengaruhi jenis substrat dasar sungai pada umumnya, tipe
substrat dalam sungai dapat berupa Lumpur, pasir, kerikil dan sampah (Syifa, 2011). Distribusi substrat dari hulu ke hilir berbeda-beda, jika di hilir maka substrat yang
akan ditemui berupa bebatuan / kerikil sedangkan di perairan hulu akan
ditemukan substrat berupa lumpur dan pasir.
4.2.9.
Konduktivitas dan Salinitas
Hasil dari ke tujuh stasiun yang telah diamati, nilai konduktivitasnya
menunjukkan angka yang berbeda–beda, angka terkecil ditunjukkan oleh stasiun
Patikraja yaitu 0,7 sedangkan lima stasiun yang lain menunjukkan angka 0,8.
Pada stasiun Sidaboa menunjukkan angka 9,6. Konduktivitas adalah jumlah ion-ion
terlarut per volumenya dan mobilitas ion-ion tersebut, satuannya adalah mS/cm
(milli-Siemens per centimeter). Konduktivitas
air yang baik bagi kehidupan suatu makhluk hidup di perairan yaitu di
bawah 400μs. Konduktivitas bertambah dengan jumlah yang sama dengan
bertambahnya salinitas sebesar 0,01, temperatur sebesar 0,01 dan kedalaman
sebesar 20 meter. Secara umum, faktor yang paling dominan dalam perubahan konduktivitas di air
adalah temperatur (Efendie, 2003). Salinitas
sungai yang semakin kearah laut akan menigkat, hal ini menyebabkan distribusi
salinitas di hulu sungai, muara hingga ke arah laut menunjukkan nilai yang
cenderung naik.
4.2.10. Skor Fisik Habitat
Pada
pengamatan di tujuh stasiun menunjukkan nilai skor fisik habitat yang berbeda-beda,
stasiun Gumawang memiliki nilai yang paling kecil yaitu 45, sedangkan untuk
stasiun Sidaboa, Patikraja dengan nilai 50, stasiun Kebumen dengan nilai 55,
sedangkan stasiun Kodim, Beji, Tanjung memiliki nilai 60.
Skor
fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu lingkungan
habitat sungai tertentu. Dari nilai fisik tersebut dapat diperoleh bagaimana
kondisi pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan tersebut dalam keadaan Sub
optimal, optimal, marginal atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup
didalamnya maupun yang ada disekitar sungai tersebut (Efendie, 2003).
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pengamatan pola
longitudinal ekosistem Sungai Serayu, perubahan faktor fisikokimia dari hulu ke
hilir, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Faktor fisikokimia yang dijadikan parameter dari
tiap-tiap pengamatan memiliki hasil yang sangat bervariasi atau berfluktuasi
dari hulu sungai sampai dengan daerah hilir sungai.
2.
Pola
lungitudinal di sungai Sidaboa pada saat ini cukup baik bagi kehidupan organisme akuatik
dan organisme lainnya yang hidup di sepanjang aliran sungai atau (DAS) Sidaboa. Dengan keadaan seperti suhu, substrat
dasar, kecepatan arus dan yang lainnya organisme dapat nerkembang biak dengan
baik.
. Praktikum Ekologi Perairan ini seharusnya pemerintah menindak lanjuti
tentang pencemaran limbah di DAS Sidaboa.
Diberi penyuluhan-penyuluhan seperti pemberdayaan masyarakat sekitar DAS Sidaboa. Karena jika pencemaran tersebut tidak diatasi
maka organisme yang hidup di aliran sungai tersebut lama kelamaan akan hilang.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, chay. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Barus,
T. A. 2002. Pengantar Limnologi.
Medan : Universitas Sumatera Utara.
Black, P.E.1991. Watershed
Hydrology. Prentice Hall, Englewood
Cliffs, New Jersey. 408 hal
Budiadi ivan. 2011. Pola longitudinal. http://ivanbudiadi.blogspot.com/. Diakses 07 Desmber 2013.
Boyd,
C.E. 1990. Water Quality in Ponds for
Aquaculture. Auburn University. Alabama.
Effendi,
Hefni. 2003. Telah Kualitas Air bagi
Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Ewuise. Y.J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika.Bandung: ITB.
Handayani. 2003. Sains
Indonesia. Jakarta: UI Press.
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism
and Semiotics. Great Britain: Richard Clay Ltd, Bungay, Suffolk
Hawkes, H.A.1979. Invertebrates an Indikator Of River
Water Quality. In James, A. And L. Erison, ED. Biology Indikator Of Water
Quality. Jon Willey Sons, Toronto.
Koesbisono.
1979. Ekologi Perairan. IPB. Bogor.
Kottelat, M. (1989).
"Zoogeography of the fishes from Indochinese inland waters with an
annotated check-list" Bulletin Zoologisch Museum Universiteit van
Amsterdam 12(1) 1-54.
Mackereth,
F.J.H., Heron, J and Talling, J.f. 1989. Water
analysis. Fresh-Water Biological Association, Cumbria, UK, 120 p.
Mays, L.W., (1996),Water resources handbook, McGraw-Hill, New York. p:
8.27-8.28
Odum,
E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi.
Diterjemahkan oleh Thahmosamingan. Gadjah Mada Press. Yogyakarta.
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogyakarta. Gajah Mada University Press
Odum, E.P. 1971. Fundamental of
Ecology. Philadelpia: WB Sounders Co.
Tseng,1987. Shrimp Mariculture. Papua New Guinea Press, Port Moresby.
Whitton BA. (eds), 1975. River
Ecology. Study in Ecology. Vol. 2, Berkeley,
University of California Press. 725 pp
Subdin Pengairan, DIY, 2006, Rancangan Naskah Akademik Peraturan Sempadan Sungai ,2006 Dinas Pekerjaan Umum, DIY, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar